Keturunan Bersahaja
Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang ulama yang kaya dan dermawan. Suatu ketika seorang wanita sederhana datang mengadu kepadanya. la berpikir bahwa wanita tersebut akan meminta sedekah darinya, sebagaimana kebanyakan orang.
Namun, sebelumnya ia mendengarkan pengaduan wanita tersebut dengan saksama, "Tuan, saya adalah ibu rumah tangga yang telah ditinggal mati suami. Setiap hari saya bekerja siang hingga malam. Siang hari saya bekerja mengurus anak-anak dan rumah tangga, sedangkan malam hari saya merajut benang untuk dijual sebagai penghasilan kami. Namun, saya tidak memiliki sesuatu untuk membeli lampu sehingga saya biasa mengerjakannya di bawah sinar rembulan."
Mendengar cerita wanita tersebut, Imam Ahmad tergerak hatinya untuk menolong. Apalagi jika yang ia butuhkan hanya sebuah lampu. Namun, ternyata cerita itu belum selesai. Imam Ahmad mengurungkan niatnya untuk memberi sedekah demi mendengarkan kelanjutan cerita wanita tersebut.
Sambil menarik nafas, wanita itu mengadu kembali dengan wajah penuh kesedihan, "Hingga pada suatu ketika, kafilah milik pemerintah berkemah di depan rumah saya. Lampu-lampunya terang benderang karena banyak jumlahnya. Saya pun segera memanfaatkan cahaya tersebut untuk merajut. Akan tetapi, setelah pekerjaan saya selesai, saya bimbang, apakah rajutan itu jika dijual, hasilnya halal dimakan oleh saya dan anak-anak? Sebab saya menggunakan lampu yang minyaknya dibeli dari uang negara yang sudah barang tentu adalah uang rakyat juga."
Imam Ahmad terkesan dengan kegundahan wanita tersebut yang khawatir dirinya telah mencuri uang rakyat. Sudah pasti ia bukan wanita sembarangan hingga memiliki ketajaman nurani seperti itu.
Imam Ahmad pun bertanya, "Siapakah engkau sebenarnya?"
Dengan nada tertekan karena kegundahannya, wanita itu menjawab, "Saya adalah adik perempuan Basyar Al-Hafi."
Alangkah terkejutnya Imam Ahmad mendengar jawaban dari bibir wanita tersebut. Ternyata sosok wanita yang berada di hadapannya itu adalah wanita terhormat, adik seorang gubernur yang adil dan dimuliakan semasa hidupnya, Basyar Al-Hafi
Rasa haru membuncah karena melihat kondisi keluarga gubernur berada dalam kemiskinan. Mereka adalah keluarga terhormat yang tidak sewenang-wenang menggunakan uang rakyat untuk kesenangan duniawi mereka. Pantas saja sang adik begitu khawatir seandainya dirinya memakan uang rakyat karena kakaknya pun mengharamkan demikian untuk keluarganya.
Demi menjaga kemuliaan wanita tersebut, Imam Ahmad menjawab kegelisahannya, "Ketika semua orang berlomba-lomba memanfaatkan peluang untuk menghabiskan dan menggerogoti uang rakyat melalui jabatan yang diamanahkan kepadanya, ternyata masih ada wanita semulia dirimu yang khawatir terciprat hak milik rakyat dan mempertanyakan kehalalannya. Sungguh, sehelai rambutmu lebih mulia daripada berlapis-lapis sorban yang kupakai dan berlembar-lembar jubah yang dipakai para ulama. Demi Allah, untuk wanita semulia engkau, ada baiknya menghindari hasil rajutan yang kauragukan kehalalannya meskipun apa yang kaulakukan pada dasarnya diperbolehkan karena tidak merugikan perbendaharaan negara."
Namun, sebelumnya ia mendengarkan pengaduan wanita tersebut dengan saksama, "Tuan, saya adalah ibu rumah tangga yang telah ditinggal mati suami. Setiap hari saya bekerja siang hingga malam. Siang hari saya bekerja mengurus anak-anak dan rumah tangga, sedangkan malam hari saya merajut benang untuk dijual sebagai penghasilan kami. Namun, saya tidak memiliki sesuatu untuk membeli lampu sehingga saya biasa mengerjakannya di bawah sinar rembulan."
Mendengar cerita wanita tersebut, Imam Ahmad tergerak hatinya untuk menolong. Apalagi jika yang ia butuhkan hanya sebuah lampu. Namun, ternyata cerita itu belum selesai. Imam Ahmad mengurungkan niatnya untuk memberi sedekah demi mendengarkan kelanjutan cerita wanita tersebut.
Sambil menarik nafas, wanita itu mengadu kembali dengan wajah penuh kesedihan, "Hingga pada suatu ketika, kafilah milik pemerintah berkemah di depan rumah saya. Lampu-lampunya terang benderang karena banyak jumlahnya. Saya pun segera memanfaatkan cahaya tersebut untuk merajut. Akan tetapi, setelah pekerjaan saya selesai, saya bimbang, apakah rajutan itu jika dijual, hasilnya halal dimakan oleh saya dan anak-anak? Sebab saya menggunakan lampu yang minyaknya dibeli dari uang negara yang sudah barang tentu adalah uang rakyat juga."
Imam Ahmad terkesan dengan kegundahan wanita tersebut yang khawatir dirinya telah mencuri uang rakyat. Sudah pasti ia bukan wanita sembarangan hingga memiliki ketajaman nurani seperti itu.
Imam Ahmad pun bertanya, "Siapakah engkau sebenarnya?"
Dengan nada tertekan karena kegundahannya, wanita itu menjawab, "Saya adalah adik perempuan Basyar Al-Hafi."
Alangkah terkejutnya Imam Ahmad mendengar jawaban dari bibir wanita tersebut. Ternyata sosok wanita yang berada di hadapannya itu adalah wanita terhormat, adik seorang gubernur yang adil dan dimuliakan semasa hidupnya, Basyar Al-Hafi
Rasa haru membuncah karena melihat kondisi keluarga gubernur berada dalam kemiskinan. Mereka adalah keluarga terhormat yang tidak sewenang-wenang menggunakan uang rakyat untuk kesenangan duniawi mereka. Pantas saja sang adik begitu khawatir seandainya dirinya memakan uang rakyat karena kakaknya pun mengharamkan demikian untuk keluarganya.
Demi menjaga kemuliaan wanita tersebut, Imam Ahmad menjawab kegelisahannya, "Ketika semua orang berlomba-lomba memanfaatkan peluang untuk menghabiskan dan menggerogoti uang rakyat melalui jabatan yang diamanahkan kepadanya, ternyata masih ada wanita semulia dirimu yang khawatir terciprat hak milik rakyat dan mempertanyakan kehalalannya. Sungguh, sehelai rambutmu lebih mulia daripada berlapis-lapis sorban yang kupakai dan berlembar-lembar jubah yang dipakai para ulama. Demi Allah, untuk wanita semulia engkau, ada baiknya menghindari hasil rajutan yang kauragukan kehalalannya meskipun apa yang kaulakukan pada dasarnya diperbolehkan karena tidak merugikan perbendaharaan negara."
Komentar
Posting Komentar