Kecerdasan Nabi Ibrahim a.s
Ibrahim a.s. adalah anak yang sangat cerdas. Kecerdasannya ini telah tampak ketika usianya masih kanak-kanak. Allah SWT menganugerahkan akal yang senantiasa berpikir dan kebijaksanaan dalam kalbunya.
Ayahnya yang bernama Azar adalah seorang pembuat patung untuk dijadikan sesembahan. Ada pula yang mengatakan bahwa Azar adalah pamannya yang telah dianggap sebagai ayahnya sendiri.
Konon, Azar adalah nama berhala yang paling terkenal di antara berhala-berhala lain buatannya. Profesi ayahnya sebagai pemahat patung sesembahan mengangkat keluarganya menjadi keluarga terpandang dan terhormat di mata masyarakat saat itu. Dari iklim kesyirikan inilah Ibrahim mungil dilahirkan.
Meskipun demikian, Allah SWT tetap melindungi fitrah dan kesucian akal serta kalbu Ibrahim kecil. Hingga suatu hari, Ibrahim kecil bermain dengan patung-patung buatan ayahnya dengan menaikinya seperti sedang bermain kuda-kudaan.
Alangkah terkejut ayahnya ketika memergoki putranya bermain dengan "tuhan-tuhan" yang diagungkan oleh kaumnya. la pun marah besar dan melarang Ibrahim kecil memainkan patung-patungnya. Dengan penuh kepolosan, Ibrahim kecil bertanya, "Patung apa ini, Ayah? Kedua telinganya sangat besar, lebih besar daripada telinga kita."
Ayahnya menjawab, "la adalah pemimpin dari beberapa tuhan yang ada, Nak. Dua telinga yang besar ini sebagai simbol atas pengetahuannya yang sangat dalam."
Namun, di balik kepolosannya, ia telah menyadari bahwa penjelasan ayahnya adalah kekonyolan belaka. la pun bersusah payah menahan tawa, padahal saat itu ia baru berumur tujuh tahun.
Dikisahkan dalam kitab Injil Barnabas, bagaimana Ibrahim kecil mematahkan argumentasi ayahnya tentang ketuhanan berhala. la bertanya kepada ayahnya, "Siapakah yang menciptakan manusia, Ayah?"
Ayahnya menjawab, "Yang menciptakan manusia adalah manusia. Aku telah menciptakanmu. Dan ayahku telah menciptakanku."
Ibrahim kecil membantah, "Bukan begitu, Yah. Aku pernah mendengar ada orang tua yang ingin memiliki seorang anak. la berkata, Tuhanku, mengapa engkau tidak memberiku anak?"
"Benar, Nak. Allah membantu manusia untuk membuat manusia, tetapi Allah tidak langsung membuat manusia," tandas pemahat patung tersebut.
Ibrahim kecil bertanya kembali, "Ayah, berapa jumlah tuhan di sana?"
"Tidak terhitung, Anakku," jawabnya.
Pertanyaan cerdas yang menggelitik logika kembali meluncur dari mulut Ibrahim, "Apa yang harus kulakukan jika aku ingin mengabdi kepada salah satu tuhan, kemudian tuhan yang lain berbuat jahat kepadaku karena aku tidak mengabdi kepadanya? Apa yang terjadi jika timbul permusuhan di antara tuhan-tuhan itu? Apa yang terjadi jika tuhan membunuh tuhan lain yang berbuat jahat kepadaku? Apa yang harus kulakukan, Ayah? Kelihatannya tuhan yang itu juga akan membunuhku."
"Nak, jangan takut. Tuhan-tuhan itu tidak akan saling bermusuhan. Di tempat peribadatan ada berjuta-juta tuhan dan di sampingnya ada tuhan yang sangat besar. Dia adalah dewa tuhan. Sampai sekarang dia telah berumur tujuh puluh tahun. Meskipun demikian, Ayah belum pernah melihat tuhan-tuhan saling berkelahi," jelas ayahnya yang mungkin merasa penjelasan itu masuk akal untuk menuntaskan rasa penasaran putranya.
"Jadi, di antara mereka sudah ada kesepakatan?" Ibrahim meminta penegasan.
"Benar, di sana ada kesepakatan," timpal ayahnya kembali.
Azar memberi penjelasan tentang keadaan patung-patungnya yang tidak pernah berkelahi. Tentu saja mereka demikian, toh, mereka hanyalah benda mati saja.
Kemudian di antara mereka telah ada kesepakatan seolah-olah mereka mengadakan forum diskusi dan musyawarah untuk hal itu. Inilah yang dijadikan pertanyaan selanjutnya oleh Ibrahim untuk meluruskan pemikiran ayahnya, "Dari bahan apa tuhan-tuhan itu dibuat?"
Dengan bangga ayahnya menjelaskan, "Tuhan ini dari kayu kurma, itu dari kayu zaitun, dan tuhan yang kecil itu dari gading gajah. Lihatlah, Nak, betapa indahnya tuhan itu. Tidak ada yang kurang darinya kecuali bernapas."
Tepat sekali! Kata-kata itu meluncur sendiri dari bibir ayah Ibrahim yang dengannya ia telah menyadari bahwa tuhan buatannya ternyata memiliki kekurangan.
Ibrahim lantas memanfaatkan perkataan ayahnya, "Jika tidak ada tuhan yang bernapas, bagaimana mereka memberikan napas? Jika tidak ada tuhan yang hidup, bagaimana mereka memberikan kehidupan? Seharusnya mereka bukan tuhan, Ayah!"
Pukulan telak buat ayah Ibrahim. Menurut logika saja kebiasaan menyembah berhala tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seorang yang berakal membuat patung dengan tangannya sendiri, kemudian dijadikan tuhan untuk disembahnya.
Ibrahim melanjutkan, "Jika tuhan membantu membuat manusia, bagaimana mungkin manusia dapat membuat tuhan? Jika tuhan terbuat dari kayu maka membakar kayu adalah sebuah kesalahan besar. Katakanlah kepadaku, mengapa Ayah membantu tuhan membuat tuhan? Mengapa Ayah membuat beberapa tuhan yang besar? Mengapa tuhan tidak membantu Ayah untuk membuat anak yang banyak sehingga Ayah menjadi orang yang paling kuat di negeri ini?"
Kemurkaan ayahnya mengakhiri dialog antara dia dan putranya tersebut. Betapa mata hati telah dibutakan oleh prasangka dan nafsu semata sehingga kebenaran yang tampak malah dianggap sebagai kesesatan.
Tahun demi tahun berlalu. Kini Ibrahim telah tumbuh menjadi sosok remaja. la masih membenci kebiasaan kaumnya menyembah berhala.
Awalnya, perilaku mereka seperti sebuah lelucon bagi Ibrahim. Namun, kini kebenciannya terhadap berhala makin memuncak sehingga menjadi amarah dalam jiwanya.
Bagaimana tidak, seluruh kaumnya tertipu oleh benda mati yang tidak bisa bicara, makan, atau minum. Ditambah lagi, ayahnya makin gencar mengajak Ibrahim untuk menjadi pendeta di antara mereka dengan memuliakan patung-patung dalam kuil. Tentu saja hal ini membuat Ibrahim makin gencar membantah dan menghinakan mereka.
Pernah suatu saat, ketika Ibrahim diajak oleh ayahnya ke pesta perayaan dewa-dewa di sebuah kuil, ia melihat seorang pendeta merengek-rengek di depan patung terbesar di sana.
Pendeta itu memohon agar patung besar itu memberinya rezeki dan kasih sayang kepada kaumnya. Ibrahim langsung menegurnya, "Sesungguhnya ia tidak mendengarmu, Pendeta. Apakah Anda tidak sadar bahwa ia tidak bisa mendengar?"
Kekhidmatan pesta langsung buyar mendengar seruan Ibrahim tersebut. Wajah pendeta itu menjadi gusar karena marah. Azar segera meminta maaf atas kelakuan putranya dengan mengatakan bahwa anaknya sedang sakit dan tidak memahami apa yang diucapkannya. Kemudian mereka berdua begegas pergi meninggalkan kuil peribadatan.
Kegigihan Ibrahim a.s. untuk menyadarkan umatnya tidak hanya sampai di situ. Dalam perenungan yang mendalam, ia memandangi langit yang dipenuhi bintang-bintang. Kaumnya tidak hanya penyembah berhala. Mereka juga dibebaskan untuk menyembah bintang-bintang atau menyembah sang raja.
Akhirnya, Ibrahim menempuh jalan halus dan penuh kasih sayang kepada umatnya dengan menunjukkan sebuah fakta bahwa benda-benda langit itu adalah milik-Nya dan beredar sesuai dengan kehendak-Nya.
Allah SWT menceritakan kisah Ibrahim a.s. di dalam Al-Qur'an sebagai berikut: "Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, Azar, "Pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala itu seba%ai tuhan? Sesungguhnya aku meiihat engkau dan kaummu dalam kesesatan yang nyata." Dan demikianlah Kami mem-perlihatkan kepado Ibrahim kekuasaan (Kami yang terdapat) di langit don di bumi, dan agar dia termasuk orang-orang yang yakin. Ketika maiam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (ialu) dia berkata, "Inilah Tuhanku." Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, "Aku tidak suka kepada yang terbenam." (QS Al-An'am [6]: 74-76)
Ahmad Bahjat menuturkan dalam bukunya bahwa Ibrahim a.s. mengumumkan tentang penuhanan ke-pada bintang-bintang ini di hadapan kaumnya. Tidak dijelaskan dalam Al-Qur'an bagaimana reaksi kaumnya terhadap pernyataan Ibrahim a.s. tersebut.
Namun, sepertinya mereka adalah kaum yang dungu dan tidak mengerti makna di balik pengumuman Ibrahim a.s. bahwa bintang-bintang yang mereka sembah ternyata tenggelam juga. Bagaimana mungkin tuhan bisa terbit dan tenggelam?
Pada malam kedua, Ibrahim a.s. kembali mengumumkan kepada kaumnya bahwa rembulan adalah tuhannya, sebagaimana firman Allah SWT, "Lain ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, "Inilah Tuhanku." Tetapi ketika bulan itu terbenam dia berkata, "Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat." (QS Al-An'am [6]: 77)
Ibrahim a.s. kembali menggugah kesadaran mereka perihal bulan yang juga terbit dan tenggelam. Pantaskah tuhan yang seperti itu disembah?
Melalui pertanyaan itu, Ibrahim a.s. menunjukkan bahwa ia memiliki Tuhan di luar tuhan-tuhan yang mereka sembah. la telah mengikrarkan penolakan terhadap ketuhanan bulan untuk menghancurkan akidah kaumnya yang sesat dengan cara halus. Namun, semua itu tidak dipahami pula oleh kaumnya yang menyembah matahari, bulan, dan bintang.
Kemudian ia mengajukan argumentasinya yang terakhir, "Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata, "Inilah Tuhanku, ini lebih besar." Tetapi ketika matahari terbenam, dia berkata, "Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan." Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik." (QS Al-An'am [6]: 78-79)
Penyangkalan Ibrahim a.s. atas akidah ketuhanan matahari adalah akhir dari perjalanan rohaninya dalam menunjukkan keberadaan Sang Pencipta langit dan bumi. Mereka yang menyembah matahari tidak merasa bahwa yang mereka sembah hanyalah makhluk ciptaan Allah SWT.
Matahari memang sangat besar, tetapi Sang Penciptalah Yang Maha besar. Hati mereka tetap tidak tersentuh, bahkan mereka menunjukkan perlawanan atas kebenaran yang ditunjukkan Ibrahim a.s
"Dan kaumnya membantahnya. Dia (Ibrahim) berkata, "Apakah kamu hendak membantahku tentang Allah, padahal Dia benar-benar telah memberi petunjuk kepadaku? Aku tidak takut kepada (malapetaka dari) apa yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali Tuhanku menghendaki sesuatu. Ilmu Tuhanku meliputi segala sesuatu. Tidakkah kamu dapat mengambil pelajaran? Bagaimana aku takut kepada apa yang kamu persekutukan (dengan Allah), padahal kamu tidak takut dengan apa yang Atlah sendiri tidak menurunkon keterangan kepadamu untuk mempersekutukan-Nya. Manakah dari kedua golongan itu yang lebih berhak mendapat keamanan (dari malapetaka) jika kamu mengetahui?" (QS. Al-An'am [6]: 80-81)
Al-Qur'an tidak menjelaskan bagaimana bentuk perlawanan mereka terhadap Ibrahim a.s. Namun, Al-Qur'an lebih memaparkan pada jawaban Ibrahim a.s terhadap bantahan mereka, yaitu ia tidak takut kepada mereka sedikit pun dan menjelaskan golongan mana yang lebih berhak mendapatkan keamanan dari bencana, "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk." (QS. Al-An'am [6]: 82)
Demikianlah Ibrahim a.s. menghadapi kaum penyembah matahari, bintang, dan bulan. Melalui bukti-bukti kekuasaan Allah SWT, ia mengajak kaumnya berpikir dengan jernih bahwa hanya AUah SWT yang berhak disembah. Melalui akal yang berpikirlah kebenaran akan terlihat jelas.
Setelah berlepas diri dari kaum yang menyembah benda-benda langit tersebut, kini ia harus berhadapan dengan ayahnya sendiri bersama kaumnya sesama penyembah berhala. Usaha untuk membuka cakrawala berpikir kaumnya selalu mengalami jalan buntu karena akidah mereka telah menjadi tradisi yang melekat dalam jiwa mereka turun-temurun.
Namun akhirnya, Ibrahim a.s. menemukan ide cerdas. la tahu bahwa akan diadakan upacara pesta besar-besaran di tepi sungai dan semua orang di kota akan berangkat ke sana. Pada situasi yang sepi inilah Ibrahim a.s. memiliki kesempatan untuk menjalankan rencana jitunya hingga sebelum para penduduk kota kembali.
Dengan sebilah kapak di tangannya, Ibrahim a.s. menyusuri jalan-jalan kota yang sepi menuju kuil peribadatan. Setibanya di sana, dipandanginya berhala-berhala yang terbuat dari kayu dan batu.
Lalu, pandangannya beralih pada makanan-makanan yang ditaruh di bawah para berhala sebagai nazar atau hadiah. la mendekati salah satu berhala yang paling besar seraya bertanya, "Makanan yang ada di hadapanmu telah dingin, mengapa engkau tidak memakannya?"
Berhala itu diam tak bergera. Tentu saja! Kemudian Ibrahim a.s. bertanya kepada berhala-berhala yang ada di sekitarnya, "Apakah kamu tidak makan?"
la hendak mengejek mereka karena ia tahu bahwa berhala-berhala itu tidak mungkin menjawab per-tanyaannya. "Kenapa kamu tidak menjawab?" lanjutnya.
Dengan tangan kanannya yang kuat, ia mengayunkan kapaknya kepada berhala-berhala yang ada di dalam kuil. Seluruh berhala hancur lebur oleh kapak Ibrahim a.s. kecuali satu, yaitu berhala yang paling besar ukurannya. Kemudian ia mengalungkan kapaknya di leher berhala besar tersebut sambil menanti reaksi kaumnya yang sesat.
Benarlah, ketika upacara pesta dewa-dewa selesai dan mereka kembali ke kota, seseorang di dalam kuil menjerit melihat tuhan-tuhannya telah hancur berantakan. Orang-orang pun berdatangan ke arah sumber jeritan dan terkejut menyaksikan peristiwa yang sangat memilukan bagi mereka.
Pelakunya sangat mudah ditebak. Mereka berkata, "Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim."
Salah seorang dari mereka berseru, "Seret dia kemari agar semua orang menyaksikannya!"
Ketika Ibrahim a.s. berada di tengah-tengah mereka, ia pun ditanya, "Apakah kamu yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?"
Dengan santai Ibrahim a.s. menjawab, "Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, tanyakanlah kepada berhala itu jika ia dapat berbicara," ujar Ibrahim a.s seraya menunjuk patung yang dimaksud.
Mereka pun menyaksikan bahwa pada berhala terbesar mereka telah dikalungkan kapak yang digunakan untuk menghancurkan berhala-berhala mereka. Mereka bingung dibuatnya. Satu sisi mereka tidak ingin kebodohan mereka terbuka, tetapi di sisi lain mereka menghadapi kenyataan bahwa berhala mereka tidak mungkin melakukan hal yang dituduhkan Ibrahim a.s.
"Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya diri sendiri, tambah Ibrahim a.s. yang tersenyum penuh kemenangan. la tahu kaumnya tidak akan bisa mengelak bahwa tuhannya hanyalah benda mati yang tidak bisa berbuat apa-apa.
Dengan kepala tertunduk mereka berkata, "Sesungguhnya kamu, hai Ibrahim, telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara."
Ibrahim berkata, "Lalu mengapa kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun dan tidak pula memberi mudharat kepada kamu? Ah, celakalah kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Apakah kamu tidak memahami?"
Akan tetapi, bukan tobat yang mereka lakukan, mereka malah merasa terhina akibat ulah Ibrahim a.s tersebut. Mereka pun menghasut teman-temannya sesama penyembah berhala, "Lemparkan saja Ibrahim ke dalam api yang menyala jika kalian hendak membantu tuhan-tuhan kalian!"
Mereka pun segera mengumpulkan kayu bakar dan menumpuknya. Ibrahim a.s. diseret ke tengah-tengah tumpukan kayu, kemudian mereka menyulut kayu tersebut dengan api. Dengan serta-merta api pun berkobar dahsyat melalap tubuh Ibrahim a.s.
Namun, Allah SWT berkehendak lain. Dengan seizin-Nya api tersebut menjadi dingin dan sama sekali tidak menyentuh pakaian apalagi kulit mulia Ibrahim a.s.
Sementara itu, para pendeta, tokoh-tokoh penting, dan para penduduk mengelilingi api besar yang menjilat-jilat itu. Terkadang percikan api mengenai pakaian mereka dan menghanguskan beberapa bagiannya. Wajah mereka pun menghitam akibat terkena kepulan asap yang mengepul tebal. Mereka merasa puas karena disangkanya Ibrahim a.s. telah hangus terpanggang api yang berkobar-kobar.
Ketika seluruh kayu terbakar, api pun meredup. Sungguh mukjizat telah terjadi di depan mata mereka. Ibrahim a.s. turun dari sisa-sisa arang kayu dalam keadaaan bersih, sehat, tanpa luka sedikit pun.
Orang-orang dengan wajah hitam gosong terperangah dan terpana. Mereka menyaksikan bahwa Allah SWT, Tuhan yang seharusnya mereka sembah telah menolong utusannya jika Dia memang menghendakinya.
Akhirnya, peringatan Ibrahim a.s kepada kaumnya berujung pada kemarahan mereka, padahal mereka sendiri menyadari bahwa penyembahan pada berhala adalah pembodohan belaka. Benarlah jika seseorang tidak menggunakan akal pikirannya dengan jernih, akan berujungpadakesesatan.
Kisah Ibrahim a.s. ini diabadikan dalam Al-Qur'an, antara lain Surat Al-Anbiya' [21]: 60-69 dan Surat Ash-Shaffat[37]:91-98.
Ayahnya yang bernama Azar adalah seorang pembuat patung untuk dijadikan sesembahan. Ada pula yang mengatakan bahwa Azar adalah pamannya yang telah dianggap sebagai ayahnya sendiri.
Konon, Azar adalah nama berhala yang paling terkenal di antara berhala-berhala lain buatannya. Profesi ayahnya sebagai pemahat patung sesembahan mengangkat keluarganya menjadi keluarga terpandang dan terhormat di mata masyarakat saat itu. Dari iklim kesyirikan inilah Ibrahim mungil dilahirkan.
Meskipun demikian, Allah SWT tetap melindungi fitrah dan kesucian akal serta kalbu Ibrahim kecil. Hingga suatu hari, Ibrahim kecil bermain dengan patung-patung buatan ayahnya dengan menaikinya seperti sedang bermain kuda-kudaan.
Alangkah terkejut ayahnya ketika memergoki putranya bermain dengan "tuhan-tuhan" yang diagungkan oleh kaumnya. la pun marah besar dan melarang Ibrahim kecil memainkan patung-patungnya. Dengan penuh kepolosan, Ibrahim kecil bertanya, "Patung apa ini, Ayah? Kedua telinganya sangat besar, lebih besar daripada telinga kita."
Ayahnya menjawab, "la adalah pemimpin dari beberapa tuhan yang ada, Nak. Dua telinga yang besar ini sebagai simbol atas pengetahuannya yang sangat dalam."
Namun, di balik kepolosannya, ia telah menyadari bahwa penjelasan ayahnya adalah kekonyolan belaka. la pun bersusah payah menahan tawa, padahal saat itu ia baru berumur tujuh tahun.
Dikisahkan dalam kitab Injil Barnabas, bagaimana Ibrahim kecil mematahkan argumentasi ayahnya tentang ketuhanan berhala. la bertanya kepada ayahnya, "Siapakah yang menciptakan manusia, Ayah?"
Ayahnya menjawab, "Yang menciptakan manusia adalah manusia. Aku telah menciptakanmu. Dan ayahku telah menciptakanku."
Ibrahim kecil membantah, "Bukan begitu, Yah. Aku pernah mendengar ada orang tua yang ingin memiliki seorang anak. la berkata, Tuhanku, mengapa engkau tidak memberiku anak?"
"Benar, Nak. Allah membantu manusia untuk membuat manusia, tetapi Allah tidak langsung membuat manusia," tandas pemahat patung tersebut.
Ibrahim kecil bertanya kembali, "Ayah, berapa jumlah tuhan di sana?"
"Tidak terhitung, Anakku," jawabnya.
Pertanyaan cerdas yang menggelitik logika kembali meluncur dari mulut Ibrahim, "Apa yang harus kulakukan jika aku ingin mengabdi kepada salah satu tuhan, kemudian tuhan yang lain berbuat jahat kepadaku karena aku tidak mengabdi kepadanya? Apa yang terjadi jika timbul permusuhan di antara tuhan-tuhan itu? Apa yang terjadi jika tuhan membunuh tuhan lain yang berbuat jahat kepadaku? Apa yang harus kulakukan, Ayah? Kelihatannya tuhan yang itu juga akan membunuhku."
"Nak, jangan takut. Tuhan-tuhan itu tidak akan saling bermusuhan. Di tempat peribadatan ada berjuta-juta tuhan dan di sampingnya ada tuhan yang sangat besar. Dia adalah dewa tuhan. Sampai sekarang dia telah berumur tujuh puluh tahun. Meskipun demikian, Ayah belum pernah melihat tuhan-tuhan saling berkelahi," jelas ayahnya yang mungkin merasa penjelasan itu masuk akal untuk menuntaskan rasa penasaran putranya.
"Jadi, di antara mereka sudah ada kesepakatan?" Ibrahim meminta penegasan.
"Benar, di sana ada kesepakatan," timpal ayahnya kembali.
Azar memberi penjelasan tentang keadaan patung-patungnya yang tidak pernah berkelahi. Tentu saja mereka demikian, toh, mereka hanyalah benda mati saja.
Kemudian di antara mereka telah ada kesepakatan seolah-olah mereka mengadakan forum diskusi dan musyawarah untuk hal itu. Inilah yang dijadikan pertanyaan selanjutnya oleh Ibrahim untuk meluruskan pemikiran ayahnya, "Dari bahan apa tuhan-tuhan itu dibuat?"
Dengan bangga ayahnya menjelaskan, "Tuhan ini dari kayu kurma, itu dari kayu zaitun, dan tuhan yang kecil itu dari gading gajah. Lihatlah, Nak, betapa indahnya tuhan itu. Tidak ada yang kurang darinya kecuali bernapas."
Tepat sekali! Kata-kata itu meluncur sendiri dari bibir ayah Ibrahim yang dengannya ia telah menyadari bahwa tuhan buatannya ternyata memiliki kekurangan.
Ibrahim lantas memanfaatkan perkataan ayahnya, "Jika tidak ada tuhan yang bernapas, bagaimana mereka memberikan napas? Jika tidak ada tuhan yang hidup, bagaimana mereka memberikan kehidupan? Seharusnya mereka bukan tuhan, Ayah!"
Pukulan telak buat ayah Ibrahim. Menurut logika saja kebiasaan menyembah berhala tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seorang yang berakal membuat patung dengan tangannya sendiri, kemudian dijadikan tuhan untuk disembahnya.
Ibrahim melanjutkan, "Jika tuhan membantu membuat manusia, bagaimana mungkin manusia dapat membuat tuhan? Jika tuhan terbuat dari kayu maka membakar kayu adalah sebuah kesalahan besar. Katakanlah kepadaku, mengapa Ayah membantu tuhan membuat tuhan? Mengapa Ayah membuat beberapa tuhan yang besar? Mengapa tuhan tidak membantu Ayah untuk membuat anak yang banyak sehingga Ayah menjadi orang yang paling kuat di negeri ini?"
Kemurkaan ayahnya mengakhiri dialog antara dia dan putranya tersebut. Betapa mata hati telah dibutakan oleh prasangka dan nafsu semata sehingga kebenaran yang tampak malah dianggap sebagai kesesatan.
Tahun demi tahun berlalu. Kini Ibrahim telah tumbuh menjadi sosok remaja. la masih membenci kebiasaan kaumnya menyembah berhala.
Awalnya, perilaku mereka seperti sebuah lelucon bagi Ibrahim. Namun, kini kebenciannya terhadap berhala makin memuncak sehingga menjadi amarah dalam jiwanya.
Bagaimana tidak, seluruh kaumnya tertipu oleh benda mati yang tidak bisa bicara, makan, atau minum. Ditambah lagi, ayahnya makin gencar mengajak Ibrahim untuk menjadi pendeta di antara mereka dengan memuliakan patung-patung dalam kuil. Tentu saja hal ini membuat Ibrahim makin gencar membantah dan menghinakan mereka.
Pernah suatu saat, ketika Ibrahim diajak oleh ayahnya ke pesta perayaan dewa-dewa di sebuah kuil, ia melihat seorang pendeta merengek-rengek di depan patung terbesar di sana.
Pendeta itu memohon agar patung besar itu memberinya rezeki dan kasih sayang kepada kaumnya. Ibrahim langsung menegurnya, "Sesungguhnya ia tidak mendengarmu, Pendeta. Apakah Anda tidak sadar bahwa ia tidak bisa mendengar?"
Kekhidmatan pesta langsung buyar mendengar seruan Ibrahim tersebut. Wajah pendeta itu menjadi gusar karena marah. Azar segera meminta maaf atas kelakuan putranya dengan mengatakan bahwa anaknya sedang sakit dan tidak memahami apa yang diucapkannya. Kemudian mereka berdua begegas pergi meninggalkan kuil peribadatan.
Kegigihan Ibrahim a.s. untuk menyadarkan umatnya tidak hanya sampai di situ. Dalam perenungan yang mendalam, ia memandangi langit yang dipenuhi bintang-bintang. Kaumnya tidak hanya penyembah berhala. Mereka juga dibebaskan untuk menyembah bintang-bintang atau menyembah sang raja.
Akhirnya, Ibrahim menempuh jalan halus dan penuh kasih sayang kepada umatnya dengan menunjukkan sebuah fakta bahwa benda-benda langit itu adalah milik-Nya dan beredar sesuai dengan kehendak-Nya.
Allah SWT menceritakan kisah Ibrahim a.s. di dalam Al-Qur'an sebagai berikut: "Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, Azar, "Pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala itu seba%ai tuhan? Sesungguhnya aku meiihat engkau dan kaummu dalam kesesatan yang nyata." Dan demikianlah Kami mem-perlihatkan kepado Ibrahim kekuasaan (Kami yang terdapat) di langit don di bumi, dan agar dia termasuk orang-orang yang yakin. Ketika maiam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (ialu) dia berkata, "Inilah Tuhanku." Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, "Aku tidak suka kepada yang terbenam." (QS Al-An'am [6]: 74-76)
Ahmad Bahjat menuturkan dalam bukunya bahwa Ibrahim a.s. mengumumkan tentang penuhanan ke-pada bintang-bintang ini di hadapan kaumnya. Tidak dijelaskan dalam Al-Qur'an bagaimana reaksi kaumnya terhadap pernyataan Ibrahim a.s. tersebut.
Namun, sepertinya mereka adalah kaum yang dungu dan tidak mengerti makna di balik pengumuman Ibrahim a.s. bahwa bintang-bintang yang mereka sembah ternyata tenggelam juga. Bagaimana mungkin tuhan bisa terbit dan tenggelam?
Pada malam kedua, Ibrahim a.s. kembali mengumumkan kepada kaumnya bahwa rembulan adalah tuhannya, sebagaimana firman Allah SWT, "Lain ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, "Inilah Tuhanku." Tetapi ketika bulan itu terbenam dia berkata, "Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat." (QS Al-An'am [6]: 77)
Ibrahim a.s. kembali menggugah kesadaran mereka perihal bulan yang juga terbit dan tenggelam. Pantaskah tuhan yang seperti itu disembah?
Melalui pertanyaan itu, Ibrahim a.s. menunjukkan bahwa ia memiliki Tuhan di luar tuhan-tuhan yang mereka sembah. la telah mengikrarkan penolakan terhadap ketuhanan bulan untuk menghancurkan akidah kaumnya yang sesat dengan cara halus. Namun, semua itu tidak dipahami pula oleh kaumnya yang menyembah matahari, bulan, dan bintang.
Kemudian ia mengajukan argumentasinya yang terakhir, "Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata, "Inilah Tuhanku, ini lebih besar." Tetapi ketika matahari terbenam, dia berkata, "Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan." Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik." (QS Al-An'am [6]: 78-79)
Penyangkalan Ibrahim a.s. atas akidah ketuhanan matahari adalah akhir dari perjalanan rohaninya dalam menunjukkan keberadaan Sang Pencipta langit dan bumi. Mereka yang menyembah matahari tidak merasa bahwa yang mereka sembah hanyalah makhluk ciptaan Allah SWT.
Matahari memang sangat besar, tetapi Sang Penciptalah Yang Maha besar. Hati mereka tetap tidak tersentuh, bahkan mereka menunjukkan perlawanan atas kebenaran yang ditunjukkan Ibrahim a.s
"Dan kaumnya membantahnya. Dia (Ibrahim) berkata, "Apakah kamu hendak membantahku tentang Allah, padahal Dia benar-benar telah memberi petunjuk kepadaku? Aku tidak takut kepada (malapetaka dari) apa yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali Tuhanku menghendaki sesuatu. Ilmu Tuhanku meliputi segala sesuatu. Tidakkah kamu dapat mengambil pelajaran? Bagaimana aku takut kepada apa yang kamu persekutukan (dengan Allah), padahal kamu tidak takut dengan apa yang Atlah sendiri tidak menurunkon keterangan kepadamu untuk mempersekutukan-Nya. Manakah dari kedua golongan itu yang lebih berhak mendapat keamanan (dari malapetaka) jika kamu mengetahui?" (QS. Al-An'am [6]: 80-81)
Al-Qur'an tidak menjelaskan bagaimana bentuk perlawanan mereka terhadap Ibrahim a.s. Namun, Al-Qur'an lebih memaparkan pada jawaban Ibrahim a.s terhadap bantahan mereka, yaitu ia tidak takut kepada mereka sedikit pun dan menjelaskan golongan mana yang lebih berhak mendapatkan keamanan dari bencana, "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk." (QS. Al-An'am [6]: 82)
Demikianlah Ibrahim a.s. menghadapi kaum penyembah matahari, bintang, dan bulan. Melalui bukti-bukti kekuasaan Allah SWT, ia mengajak kaumnya berpikir dengan jernih bahwa hanya AUah SWT yang berhak disembah. Melalui akal yang berpikirlah kebenaran akan terlihat jelas.
Setelah berlepas diri dari kaum yang menyembah benda-benda langit tersebut, kini ia harus berhadapan dengan ayahnya sendiri bersama kaumnya sesama penyembah berhala. Usaha untuk membuka cakrawala berpikir kaumnya selalu mengalami jalan buntu karena akidah mereka telah menjadi tradisi yang melekat dalam jiwa mereka turun-temurun.
Namun akhirnya, Ibrahim a.s. menemukan ide cerdas. la tahu bahwa akan diadakan upacara pesta besar-besaran di tepi sungai dan semua orang di kota akan berangkat ke sana. Pada situasi yang sepi inilah Ibrahim a.s. memiliki kesempatan untuk menjalankan rencana jitunya hingga sebelum para penduduk kota kembali.
Dengan sebilah kapak di tangannya, Ibrahim a.s. menyusuri jalan-jalan kota yang sepi menuju kuil peribadatan. Setibanya di sana, dipandanginya berhala-berhala yang terbuat dari kayu dan batu.
Lalu, pandangannya beralih pada makanan-makanan yang ditaruh di bawah para berhala sebagai nazar atau hadiah. la mendekati salah satu berhala yang paling besar seraya bertanya, "Makanan yang ada di hadapanmu telah dingin, mengapa engkau tidak memakannya?"
Berhala itu diam tak bergera. Tentu saja! Kemudian Ibrahim a.s. bertanya kepada berhala-berhala yang ada di sekitarnya, "Apakah kamu tidak makan?"
la hendak mengejek mereka karena ia tahu bahwa berhala-berhala itu tidak mungkin menjawab per-tanyaannya. "Kenapa kamu tidak menjawab?" lanjutnya.
Dengan tangan kanannya yang kuat, ia mengayunkan kapaknya kepada berhala-berhala yang ada di dalam kuil. Seluruh berhala hancur lebur oleh kapak Ibrahim a.s. kecuali satu, yaitu berhala yang paling besar ukurannya. Kemudian ia mengalungkan kapaknya di leher berhala besar tersebut sambil menanti reaksi kaumnya yang sesat.
Benarlah, ketika upacara pesta dewa-dewa selesai dan mereka kembali ke kota, seseorang di dalam kuil menjerit melihat tuhan-tuhannya telah hancur berantakan. Orang-orang pun berdatangan ke arah sumber jeritan dan terkejut menyaksikan peristiwa yang sangat memilukan bagi mereka.
Pelakunya sangat mudah ditebak. Mereka berkata, "Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim."
Salah seorang dari mereka berseru, "Seret dia kemari agar semua orang menyaksikannya!"
Ketika Ibrahim a.s. berada di tengah-tengah mereka, ia pun ditanya, "Apakah kamu yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?"
Dengan santai Ibrahim a.s. menjawab, "Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, tanyakanlah kepada berhala itu jika ia dapat berbicara," ujar Ibrahim a.s seraya menunjuk patung yang dimaksud.
Mereka pun menyaksikan bahwa pada berhala terbesar mereka telah dikalungkan kapak yang digunakan untuk menghancurkan berhala-berhala mereka. Mereka bingung dibuatnya. Satu sisi mereka tidak ingin kebodohan mereka terbuka, tetapi di sisi lain mereka menghadapi kenyataan bahwa berhala mereka tidak mungkin melakukan hal yang dituduhkan Ibrahim a.s.
"Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya diri sendiri, tambah Ibrahim a.s. yang tersenyum penuh kemenangan. la tahu kaumnya tidak akan bisa mengelak bahwa tuhannya hanyalah benda mati yang tidak bisa berbuat apa-apa.
Dengan kepala tertunduk mereka berkata, "Sesungguhnya kamu, hai Ibrahim, telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara."
Ibrahim berkata, "Lalu mengapa kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun dan tidak pula memberi mudharat kepada kamu? Ah, celakalah kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Apakah kamu tidak memahami?"
Akan tetapi, bukan tobat yang mereka lakukan, mereka malah merasa terhina akibat ulah Ibrahim a.s tersebut. Mereka pun menghasut teman-temannya sesama penyembah berhala, "Lemparkan saja Ibrahim ke dalam api yang menyala jika kalian hendak membantu tuhan-tuhan kalian!"
Mereka pun segera mengumpulkan kayu bakar dan menumpuknya. Ibrahim a.s. diseret ke tengah-tengah tumpukan kayu, kemudian mereka menyulut kayu tersebut dengan api. Dengan serta-merta api pun berkobar dahsyat melalap tubuh Ibrahim a.s.
Namun, Allah SWT berkehendak lain. Dengan seizin-Nya api tersebut menjadi dingin dan sama sekali tidak menyentuh pakaian apalagi kulit mulia Ibrahim a.s.
Sementara itu, para pendeta, tokoh-tokoh penting, dan para penduduk mengelilingi api besar yang menjilat-jilat itu. Terkadang percikan api mengenai pakaian mereka dan menghanguskan beberapa bagiannya. Wajah mereka pun menghitam akibat terkena kepulan asap yang mengepul tebal. Mereka merasa puas karena disangkanya Ibrahim a.s. telah hangus terpanggang api yang berkobar-kobar.
Ketika seluruh kayu terbakar, api pun meredup. Sungguh mukjizat telah terjadi di depan mata mereka. Ibrahim a.s. turun dari sisa-sisa arang kayu dalam keadaaan bersih, sehat, tanpa luka sedikit pun.
Orang-orang dengan wajah hitam gosong terperangah dan terpana. Mereka menyaksikan bahwa Allah SWT, Tuhan yang seharusnya mereka sembah telah menolong utusannya jika Dia memang menghendakinya.
Akhirnya, peringatan Ibrahim a.s kepada kaumnya berujung pada kemarahan mereka, padahal mereka sendiri menyadari bahwa penyembahan pada berhala adalah pembodohan belaka. Benarlah jika seseorang tidak menggunakan akal pikirannya dengan jernih, akan berujungpadakesesatan.
Kisah Ibrahim a.s. ini diabadikan dalam Al-Qur'an, antara lain Surat Al-Anbiya' [21]: 60-69 dan Surat Ash-Shaffat[37]:91-98.
Komentar
Posting Komentar